Oleh Anggita
Damayanti, S. Pd.
(Guru Kelas IV A SDN. Perumnas Cisalak)
Berita kenaikan harga rokok yang
ramai ditayangkan di berbagai media elektronik, banyak menimbulkan pro dan kontra
di lingkungan masyarakat. Perokok aktif maupun pasif saling beradu pendapat di media sosial.
Sebagai perokok pasif, penulis sangat antusias menyambut
wacana pemerintah untuk menaikkan harga rokok dengan harga yang cukup mahal.
Diharapkan para perokok berat dapat berpikir dua kali membakar uangnya dengan
merokok.
Setiap keputusan pasti akan disambut beragam pendapat.
Tidak sedikit yang mengomentari kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga
rokok. Salah satu komentar di media sosial mengatakan, “Meskipun harga rokok
naik, tidak akan memberikan efek jera untuk para perokok”.
Seorang ibu rumah tangga malah sangat ketakutan, dari sisa
uang membeli rokok suaminya berarti jatah dapur semakin sedikit. Dampak nikotin
dalam sebatang rokok, menjadikan seorang perokok tetap tidak akan bergeming. Mungkin
bagi perokok berduit tidak masalah, tapi bagi perokok yang penghasilan nya
kurang dapat melecut tindakan kriminal demi sebatang rokok. Narkotika saja yang
harganya ratusan ribu bahkan jutaan, bagi orang yang sudah kecanduan bisa
menghalalkan segala cara untuk membelinya.
Apalagi seorang guru yang bebas merokok di lingkungan
sekolah sangat kurang pantas jika dihisap dan dilihat peserta didik. Seorang
guru ialah suri tauladan peserta didik, seperti yang dikatakan Ki Hajar
Dewantara, “Ing Ngarso Sung Tulodo”. Atau pepatah lain mengatakan, “Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari”. Oleh sebab itu, bagi para guru yang
sering merokok di sekolah selaiknya merenungkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang kawasan tanpa rokok di
lingkungan sekolah. Pada pasal 5 dijelaskan bahwa kepala sekolah, guru, tenaga
kependidikan, peserta didik, dan pihak lain dilarang merokok, memproduksi,
menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di lingkungan Sekolah.
Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan
dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga kependidikan, dan peserta
didik apabila melakukan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kepala
sekolah dapat memberikan sanksi kepada guru, tenaga kependidikan, dan Pihak
lain yang terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di lingkungan
sekolah. Guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik dapat memberikan
teguran atau melaporkan kepada kepala sekolah apabila terbukti ada yang merokok
di Lingkungan Sekolah. Dinas pendidikan setempat sesuai dengan kewenangannya memberikan
teguran atau sanksi kepada kepala sekolah apabila terbukti melanggar ketentuan
Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah berdasarkan laporan atau informasi
dari guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan/atau Pihak lain.
Jika pemerintah daerah
dan dinas pendidikan berkomitmen dengan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015
dilaksanakan dapat menjadi efek jera bagi para guru yang sembarangan merokok di
lingkungan sekolah. Barangkali yang harus dilakukan mereka adalah menghentikan
sejenak aktivitas merokok di lingkungan sekolah. Jika memang belum ada niat
untuk berhenti, maka mereka dapat menghisap rokok setelah pulang sekolah di
tempat udara bebas yang jauh dari jangkauan peserta didik atau anak-anak.
Penulis berharap wacana
pemerintah menaikkan harga rokok dapat membuat para perokok aktif berhenti
sedikit demi sedikit agar menggunakan uangnya untuk hal-hal yang lebih
bermanfaat. Jika para perokok menghentikan aktivitas merokoknya, mungkin
lingkungan peseta didik dan anak-anak dapat menghirup udara segar setiap hari.
Selain itu, jika harga
rokok memang benar-benar naik, pemerintah harus mengontrol harga bahan pokok
agar tidak terkena dampaknya. Jika harga rokok per bungkus mahal diikuti
bahan-bahan pokok rumah tangga, maka hal tersebut percuma saja. Rakyat kecil
akan semakin tercekik dengan keadaan yang tidak terkendali tersebut dari segala
arah.
No comments:
Post a Comment