Friday, October 7, 2016

MATAHARI DARI UTARA

Seorang lelaki dengan berperawakan kurus-kerontang berlari-lari kecil. Masinis membunyikan klakson bernada keras yang mirip terompet sebagai tanda kereta mulai melaju. "Ah, sampai juga," ucap lelaki yang senang menggulung tubuhnya dengan kain putih itu. Sayang, sandal yang berbahan kulit tertinggal sepasang ketika menaiki kereta yang mulai bergerak cepat. "Wuuussshhh," sandal yang masih terpasang di kaki kirinya dilempar. Para penumpang lain merasa heran dengan sikapnya, "Kenapa Tuan membuang sandalnya?".

Seorang lelaki dengan berperawakan kurus-kerontang berlari-lari kecil. Masinis membunyikan klakson bernada keras yang mirip terompet sebagai tanda kereta mulai melaju. “Ah, sampai juga,” ucap lelaki yang senang menggulung tubuhnya dengan kain putih itu. Sayang, sandal yang berbahan kulit tertinggal sepasang ketika menaiki kereta yang mulai bergerak cepat. “Wuuussshhh,” sandal yang masih terpasang di kaki kirinya dilempar. Para penumpang lain merasa heran dengan sikapnya, “Kenapa Tuan membuang sandalnya?”
“Jika ada yang menemukannya sepasang, tentu tidak akan bermanfaat. Jika dua-duanya saya tinggalkan, penemu kedua pasang sandalku akan menggunakannya dan bermanfaat,” jelas Gandhi dengan senyum kecil khasnya.
Nursyda membaca dengan dalam, mengingat masa kecil yang bahagia karena dapat membaca kisah-kisah orang besar dari buku yang disediakan ayahnya, seorang wartawan lokal Lombok Utara. Sejak kecil, dia disuguhi kisah tokoh-tokoh dunia sejak dari rumah. Membaca seperti cairan yang sangat dibutuhkan tubuhnya setiap hari. Tanpa itu, dia merasa dahaga, seperti berlari sejauh puluhan kilometer yang mengeluarkan racun pada pori-pori tubuh, tetapi tidak diganti dengan air mineral.
Riak air mineral dalam botol yang digenggam adalah sebagian energi yang mengantarkan langkah kakinya menuju toko buku yang berjarak tujuh kilo meter. Tetapi energi yang lebih besar dari matahari adalah keyakinannya untuk sampai ke tumpukkan buku-buku yang isinya seluas semesta, malah lebih dari itu.
Kuliah di Jogjakarta, salah satu provinsi istimewa di Indonesia dengan samudera buku di setiap sudut kotanya membuat Nursyda Syam betah berlayar. Permasalahan ekonomi yang sserba terbatas bukan benteng berlin yang kokoh untuk diruntuhkan. Dia mampu menghancurkannya dengan kesabaran. Berjuang menjadi penjual koran, pengasuh, dan ngamen untuk bertahan menjadi mahasiswa di salah satu universitas Jogjakarta adalah pilihan yang masuk akal.
Sayang, uang yang terkumpul selalu tidak cukup untuk membeli buku. Tetapi dia tidak menjadi pecundang dengan membentangkan bendera putus asa. Justeru, tercetuslah ide untuk terus berkunjung ke toko buku, dia selalu datang untuk membaca buku yang belum dikhataminya. Berminggu-minggu pihak keamanan toko buku pun memantaunya, “Jika kamu hanya membaca buku saja, silakan keluar!” ancam petugas keamanan saat itu. Pilihan untuk berada di toko tersebut tinggal dua, “Beli atau keluar!”.
Meski tidak kuasa memandang wajah sang petugas karena tuntutan kewajibannya. Dia tidak ingin merasa terhina dan dipermalukan. Dia jaga perasaan demi petugas keamanan tersebut, sebab dia pun bekerja untuk keluarganya. Dia juga sadar bahwa posisinya dalam keadaan yang salah, hanya memanfaatkan ruang toko buku untuk membaca tanpa membelinya dengan kondisi keuangan yang serba dibutuhkan. Buku yang berjudul “Indonesia Tanpa Pagar” akhirnya diletakkan pada rak toko tersebut. Dia harus rela Indonesia masih dipagari bagi kebebasan kaum marjinal.
Ida panggilan akrabnya merasa gelap, dia seperti berjalan pada labirin, menunggu cahaya hingga dia tunggu tidak datang-datang. Dia sadar harus berjalan di atas mataharinya sendiri yaitu keyakinan dan perjuangan untuk membuat sebuah taman dengan bunga-bunga yang tumbuh berupa buku-buku.
Terkadang sebagai manusia biasa, Ida merasa iri dengan orang-orang yang memiliki ekonomi lebih. Andaikan posisinya dibalik, tentu Ida akan membeli semua buku yang diinginkannya dengan uang yang melimpah. Tetapi dia sadar bahwa dunia adalah sebuah tempat fatamorgana, bayang-bayang, dan sesuatu yang terlihat belum tentu berisi sama dengan rupanya.
Pilihan yang masuk akal adalah menjadi angin, memassuki celah-celah untuk diterobos, ditembus, berada pada dimensi nyata, dan tidak membebani hidup yang sedemikian terbatas. Modal kuat untuk mendirikan sebuah tempat yang dapat dimanfaatkan orang banyak, dia harus mengumpulkan buku-buku yang disumbangkan teman-temannya agar dibaca warga sekitar. Dia tidak ingin semua orang bernasib sama demi menghayati sebuah buku dengan sebuah usiran. "Mewakafkan hidup untuk menyadarkan masyarakat gemar membaca," sebuah niat tumbuh subur dari kebun dalam hatinya.
Berbagi menjadi pilihan terbaik hidupnya sebab jiwa-raga adalah sebuah rumah yang dapat dijadikan naungan untuk orang lain. Atau mungkin sebuah shelter, tempat berteduh sebelum benar-benar pergi ke tempat tujuan.
Suara Ida selalu bergetar setiap menutup diskusi-diskusi dengan siapa pun, pada sebuah gedung atau tempat yang bernama Gerung, beralaskan marmer atau tanah. “Tetaplah menjadi cahaya,” katanya dengan nada yang membuat orang-orang bergetar seperti gunung berapi ingin meledakkan magma dari kedalamannya.


SARTINI BUKAN KARTINI

Biji-biji kopi yang dikeringkan dengan mengandalkan sengatan matahari, berceceran dekat tampan-tampan yang mewadahinya di depan rumah. Ayam-ayam dengan naluri hewaninya menghampiri kopi-kopi yang disiangi, dibiarkan dan diberi kesempatan menikmatinya. Sartini dengan cekatan membawanya ke dapur untuk untuk segera mengolahnya dengan cara disangrai, dia memilih jalan tradisional membuat kopi bubuk yang kemudian ditumbuk sehingga memiliki aroma kopi khas Desa Sesela, Lombok Barat Nusa Tenggara Barat.

Tanah sepertiga lapang sepakbola merupakan laboratorium kehidupan baginya. Dua bangunan rumah berdiri, kegunaan rumah pertama sebagai tempat istirahat dan tempat olahan-olahan panganan khas bersama tetangga. Rumah kedua sengaja dibangun sebagai tempat buku-buku untuk anak, remaja, dan beberapa warga yang masih buta aksara.
Halaman yang dijadikan tempat bermain dengan permukaannya yang bertekstur padat, sangat disenangi anak-anak jika berkumpul setelah pulang sekolah atau sore hari menjelang magrib. Pohon jeruk, pepaya, dan singkong di belakang rumah dapat dinikmati tetangga dan warga yang membutuhkannya. Hanya satu syarat yang diberikan Sartini kepada warga untuk benar-benar digenggam. “Silahkan nikmati, tapi jangan dijual,” itu saja.
Perempuan paruh baya yang menginfakkan hidup untuk orang-orang lebih memilih Jalan berbagi dengan orang-orang terdekat hingga meluas ke luar desanya. Mulai dari ruang tamu hingga halaman luar rumah direlakan untuk berbagi ruang dengan siapa saja.
Dari pejabat hingga orang yang bernasib biasa-biasa tidak pernah disekat jarak ketika memasuki gerbang rumahnya. Sartini bukan seorang Kartini yang memiliki pengaruh besar dan memiliki hubungan dengan orang-orang di atas sana. Siapa pun yang menginjakkan kaki di atas tanahnya harus melucuti apa pun jabatannya. Baginya, semua orang sama yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi dengan warna darah dan tulang yang sama. Tentu saja tidak berati menganggap dirinya Tuhan.
Sumber tenaga yang dia miliki entah datang dari mana, satu-satunya yang menyala dari dalam dadanya adalah pendaran semangat. Riuh-rendah suara anak-anak mulai mengeras, dia menyeka keringat dari dahinya sebab ruang dapur yang lembab membuatnya bermandikan mata air tubuhnya sendiri.
Sartini tersenyum saja mendengar celoteh anak-anak yang bercanda sedemikian rupa, terkadang tiba-tiba ada yang menangis, terjatuh, dan berdarah. Tentu saja, nurani keibuannya muncul menyegerakan mereka ketimbang sangrai kopi yang membutuhkan waktu lama.
Pakaiannya terkadang lusuh, sebab seluruh kejadian bersama anak-anak menempeli tenunan pakaiannya yang hampir digunakan setiap hari. Angin yang ringan mengusap wajah anak-anak dan mengatup-ngatupkan mata. Bergerak pelan dan berakhir dengan bentangan layar mimpi dalam tidurnya di lantai depan rumah. Sebagian anak mengambil buku bacaan, berceloteh sambil ngemil kripik terbuat dari olahan jagung yang disediakan.
Tidak semua anak memiliki keluarga lengkap, ada yang dititipkan ke bibinya karena ibunya merantau ke negeri seberang untuk menjadi asisten rumah tangga. Jiwa-jiwa beberapa anak terlihat kosong. Sartini mengisinya agar mereka tetap menjaga magma harapan yang meletup-letup dengan berwarna emas.
Apa pun yang terjadi dengan anak-anak di atas tanah miliknya, dia berusaha menjadi malaikat bagi mereka. Tanpa sungkan-sungkan, jika tetesan darah terakhir dari tubuhnya terjatuh, dia akan menampaninya untuk diberikan kepada mereka yang berada di dekatnya.
Tentu saja darah yang dimiliki Sartini tidak berwarna merah dan bau amis, tetapi bening melebihi mata air di dekat pohon tua Desa Sesela. Ucapan yang disampaikan tentu bukan dari pikirannya yang disesaki pertimbangan. Dia seperti peri yang terjatuh dari langit. Bertugas dalam kehidupan anak-anak di sekitar rumahnya sebagai pemberi bintang ketika legam malam datang.
Anak-anak selalu mengadu kepadanya, masalah apa pun, meskipun yang disembunyikan dalam-dalam di semak-semak hatinya. Sartini adalah tanah yang ditumbuhi pepohonan dengan ranting-ranting kering yang hampir terjatuh. Dia juga adalah hujan yang menyerap ke dalam tanah, kemudian diseruput akar-akar hingga pepohonan yang seharusnya mati dapat hidup kembali dengan rimbun dan anggun demaunnya.

Tuesday, August 30, 2016

SELAMAT PAGI



Selamat Pagi
Musik/lirik: Vudu Abdul Rahman
Vocal: Sabak Kids

D A G Bm

Selamat pagi
Teman-temanku yang baik hati
Ayo, kita berbagi energi
Matahari yang menyinari hidup dan bumi

Mari kita bangkitkan semangat hari ini
Untuk menggali ilmu seluas samudera
Melayarinya dengan gembira

Mulailah membaca
Dengan menyebut nama
tuhan yang menciptakan s'luruh alam semesta
Tercinta....

Monday, August 29, 2016

SADAR LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI

Oleh Dede Dudu Abdul Rahman (Guru Perintis)

Literasi bukan sekedar kompetisi, lebih dari itu, agar seluruh lapisan masyarakat dapat melek wacana menuju persaingan global dengan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang telah berjalan beberapa tahun terakhir ini. 

Salah satu peningkatan kemampuan literasi peserta didik dapat ditingkatkan melalui tahap pemahaman dalam menggunakan komputer, internet, dan handphone. Hal ini penting untuk membekali mereka terkait dengan hard skill yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.  

Peningkatan kemampuan literasi teknologi informasi peserta didik dalam penggunaan komputer harus dibiasakan sejak dini mulai dari lingkungan rumah dan sekolah. Dalam program West Java Leader's Reading Challenge yang akan dilaksanakan SDN. Perumnas Cisalak mulai September 2016 - Juni 2017, penggunaan komputer dan internet yang disediakan sekolah harus dikuasai mereka. Tujuan penguasaan dalam penggunaan komputer dimaksudkan agar mereka terlibat secara aktif dalam pelaksanaan program WJLRC.

Penguasaan peserta didik terhadap penggunaan komputer dapat mempermudah pelaksanaan program sebagai wujud pelibatan mereka secara konkrit. Mereka tidak sekedar membaca buku bacaan, menulis reviu, dan presentasi saja. Tetapi dilibatkan dalam proses rekapitulasi secara mandiri ketika menulis reviu buku bacaan pada kertas tulis yang dialihkan ke microsoft word.

Dalam bulan pembiasaan (Agustus) ini, peserta didik diuji tingkat kemampuan penggunaan komputer sebagai langkah persiapan menuju program WJLRC yang akan segera dimulai pada awal September 2016.

Kemampuan peserta didik SDN. Perumnas Cisalak cukup baik dalam menuliskan hasil latihan reviu mereka pada microsoft word, Senin (29/8). Mereka cukup sadar literasi teknologi informasi dan komunikasi yang difasilitasi keluarga masing-masing dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Mudah-mudahan semangat literasi yang digelorakan di lingkungan pendidikan Provinsi Jawa Barat dapat merevoliterasi daya nalar warga sekolah. Pada akhirnya, medali bukan tujuan untuk memenangkan suatu perlombaan demi citra yang sesaat. Tujuan utama menggelorakan literasi di lingkungan sekolah dapat terwujud demi generasi yang melek wacana berbasis teknologi informasi dan komunikasi.












Sunday, August 28, 2016

GURU DILARANG MEROKOK


Oleh Anggita Damayanti, S. Pd. 
(Guru Kelas IV A SDN. Perumnas Cisalak)

Berita kenaikan harga rokok yang ramai ditayangkan di berbagai media elektronik, banyak menimbulkan pro dan kontra di lingkungan masyarakat. Perokok aktif maupun  pasif saling beradu pendapat di media sosial.
Sebagai perokok pasif, penulis sangat antusias menyambut wacana pemerintah untuk menaikkan harga rokok dengan harga yang cukup mahal. Diharapkan para perokok berat dapat berpikir dua kali membakar uangnya dengan merokok.
Setiap keputusan pasti akan disambut beragam pendapat. Tidak sedikit yang mengomentari kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga rokok. Salah satu komentar di media sosial mengatakan, “Meskipun harga rokok naik, tidak akan memberikan efek jera untuk para perokok”.
Seorang ibu rumah tangga malah sangat ketakutan, dari sisa uang membeli rokok suaminya berarti jatah dapur semakin sedikit. Dampak nikotin dalam sebatang rokok, menjadikan seorang perokok tetap tidak akan bergeming. Mungkin bagi perokok berduit tidak masalah, tapi bagi perokok yang penghasilan nya kurang dapat melecut tindakan kriminal demi sebatang rokok. Narkotika saja yang harganya ratusan ribu bahkan jutaan, bagi orang yang sudah kecanduan bisa menghalalkan segala cara untuk membelinya.
Apalagi seorang guru yang bebas merokok di lingkungan sekolah sangat kurang pantas jika dihisap dan dilihat peserta didik. Seorang guru ialah suri tauladan peserta didik, seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarso Sung Tulodo”. Atau pepatah lain mengatakan, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Oleh sebab itu, bagi para guru yang sering merokok di sekolah selaiknya merenungkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah. Pada pasal 5 dijelaskan bahwa kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di lingkungan Sekolah.
Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik apabila melakukan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kepala sekolah dapat memberikan sanksi kepada guru, tenaga kependidikan, dan Pihak lain yang terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah. Guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik dapat memberikan teguran atau melaporkan kepada kepala sekolah apabila terbukti ada yang merokok di Lingkungan Sekolah. Dinas pendidikan setempat sesuai dengan kewenangannya memberikan teguran atau sanksi kepada kepala sekolah apabila terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah berdasarkan laporan atau informasi dari guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan/atau Pihak lain.

Jika pemerintah daerah dan dinas pendidikan berkomitmen dengan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 dilaksanakan dapat menjadi efek jera bagi para guru yang sembarangan merokok di lingkungan sekolah. Barangkali yang harus dilakukan mereka adalah menghentikan sejenak aktivitas merokok di lingkungan sekolah. Jika memang belum ada niat untuk berhenti, maka mereka dapat menghisap rokok setelah pulang sekolah di tempat udara bebas yang jauh dari jangkauan peserta didik atau anak-anak.
Penulis berharap wacana pemerintah menaikkan harga rokok dapat membuat para perokok aktif berhenti sedikit demi sedikit agar menggunakan uangnya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Jika para perokok menghentikan aktivitas merokoknya, mungkin lingkungan peseta didik dan anak-anak dapat menghirup udara segar setiap hari.

Selain itu, jika harga rokok memang benar-benar naik, pemerintah harus mengontrol harga bahan pokok agar tidak terkena dampaknya. Jika harga rokok per bungkus mahal diikuti bahan-bahan pokok rumah tangga, maka hal tersebut percuma saja. Rakyat kecil akan semakin tercekik dengan keadaan yang tidak terkendali tersebut dari segala arah.


Thursday, August 25, 2016

POHON GEULIS ANTI KEKERASAN

Pohon yang lindap, rimbun, dan subur dapat menjadikan lingkungan sekitar teduh. Kemajuan bangsa Indonesia tergantung benih yang ditanam sekarang, jika serius dirawat kemungkinan besar generasi masa depannya tahan badai, kuat dan bernas.

"Pak, aku udah namatin tiga buku," kata Shopie dengan tersenyum bangga. "Kalau aku baru dua buku, Pak." Siva menimpali, tidak mau kalah dengan Sopie. Beberapa anak melaporkan bahwa mereka telah menamatkan buku-buku dalam bulan pembiasaan. Sejak anak-anak melaporkan buku yang dibacanya ditamatkan, barulah pohon geulis dibuat bersama anak-anak dengan mencari ide agar unik dan menarik.

Setelah berdiskusi dengan anak-anak, kami sepakat membuat pohon dengan daun-daunnya terbuat dari sketsa tangan-tangan mereka, Jum'at (26/8). Sesuai dengan warna dan pita biru pada logo Sabak Perumnas Cisalak yang berarti warna biru merupakan sebuah naungan dengan warna kedamaian yang diharapkan para peserta didik nyaman menggali dunia melalui buku bacaan. Sedang pita biru berarti pencegahan kekerasan pada anak (child abuse prevention). Sabak sebagai komunitas baca berupaya melindungi hak-hak anak dari segala macam bentuk kekerasan yang sering terjadi pada anak.

Peserta didik sangat antusias membuat sketsa tangan-tangannya yang kemudian dihias lalu diisi berbagai judul, penulis, dan sedikit ringkasan tentang bacaannya. Langkah ini sebagai upaya menggelorakan gerakan literasi sekolah melalui program West Java Leader's Reading Challenge yang dilaksanakan SDN. Perumnas Cisalak.









"P

GURU BELAJAR MEREVIU

Setelah peserta didik pulang dari kelasnya masing-masing, para guru berkumpul di kantor, Kamis (25/8). Hari yang tidak biasa, mereka membicarakan tentang workshop menulis reviu yang diadakan Kepala Sekolah Penggerak dan Guru Perintis SDN. Perumnas Cisalak.

Syarat utama mengikuti workshop yaitu para guru harus menamatkan buku terlebih dahulu. Beberapa guru terlihat menyelesaikan bacaan, sedang yang lain terlihat berdiskusi tentang cara menulis reviu dengan teman sejawatnya.

Virus literasi tidak mudah tersebar, langkah masuk akal yang dapat dilakukan adalah menggelorakannya dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan literasi, seperti workshop menulis reviu, dan lainnya.

Selepas istirahat mengajar dan melaksanakan sholat dzuhur, para guru pun dengan sendirinya berkumpul di ruang literasi lantai 2. Infokus dan beberapa lembar kertas sesuai jumlah guru yang hadir dibagikan. Hari itu, guru perintis menjelaskan terlebih dahulu berbagai teknik menulis reviu, mulai Ishikawa Fishbone, Y Chart, Ishikawa, dan Infografis. 

Meski telah dijelaskan pada sosialisasi literasi sebelumnya, mengulas untuk mengingatkan sangat baik dilaksanakan agar lebih paham. 

"Itu maksud, musim, ketika, dan saat, pada kotak when, maksudnya apa?" Yayah Heryati salah seorang peserta workshop yang mengajar di kelas lima bertanya dengan mengernyitkan keningnya. Disusul pertanyaan-pertanyaan dari guru lain yang kemudian diskusi spontan tebangun begitu saja di antara mereka.

Hal menarik yang dapat diambil hikmahnya dari workshop tersebut yaitu budaya diskusi yang selama ini hanya dianggap biasa-biasa saja mulai terbangun sedikit demi sedikit. Mereka menyadari bahwa membaca dan menulis itu perlu waktu dan kemauan yang kuat.

Para guru pun harus memberi ruang lebih fleksibel kepada peserta didik agar mereka lebih banyak membaca agar budaya mencintai ilmu pengetahuannya teresapi. Selama bulan Agustus ini para guru dan peserta didik dibiasakan membaca, menulis diary, dan workshop-workshop kecil. Para guru akan dilibatkan dalam gerakan literasi sekolah melalui program West Java Leader's Reading Challenge dari Minggu pertama hingga ketiga sepuluh bulan ke depan..

Semoga kebangkitan kemampuan literasi tenaga kependidikan dan peserta didik di Jawa Barat dapat meningkat. Para guru mengubah pola pikir yang dimulai dengan membiasakan diri untuk berkarya bersama para peserta didik untuk menciptakan lingkungan literat. Amin.












Wednesday, August 24, 2016

KENAPA SABAK?

Oleh Dede Dudu Abdul Rahman, S. Pd. (Perintis SDN. Perumnas Cisalak)

Sabak merupakan alat tulis yang digunakan siswa sekolah rakyat pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Tempat menulis yang terbuat dari bahan triplek yang dicat berwarna hitam dengan alat tulis kapur, sebab pulpen dan buku belum ada masa itu. Oleh sebab itu, orang tua dulu sangat kuat ingatannya, sekali tulis dihapus dan diingat, begitu seterusnya.
Sabak dalam hal ini digunakan sebagai identitas gerakan literasi sekolah yang dilaksanakan SDN. Perumnas Cisalak. Sabak sebuah akronim dari Sekolah Bacaan SDN. Perumnas Cisalak yang merupakan salah satu sekolah dasar perintis dalam menggelorakan Gerakan Literasi Sekolah melalui program West Java Leaders Reading Challenge. Program ini diselenggarakan sejak 2016 dalam rangka membudayakan literasi di lingkungan sekolah-sekolah Jawa Barat.
Dalam menjalankan program ini, SDN. Perumnas Cisalak bekerjasama dengan berbagai komunitas bacaan sebagai langkah konkrit untuk membangun lingkungan literat peserta didik dalam mencintai ilmu pengetahuan sepanjang hayat.
FILOSOFI
Segi enam menggambarkan jenjang sekolah dasar yang dimulai kelas satu dan berakhir hingga kelas enam.
Payung adalah simbol Kota Tasikmalaya sebagai domisili SDN. Perumnas Cisalak.
Warna biru merupakan sebuah naungan dengan warna kedamaian yang diharapkan para peserta didik nyaman menggali dunia melalui buku bacaan.
Pita biru berarti pencegahan kekerasan pada anak (child abuse prevention). Sabak sebagai komunitas baca berupaya melindungi hak-hak anak dari segala macam bentuk kekerasan yang sering terjadi pada anak.
Buku sebagai gambaran sabak meski dengan bentuk berbeda tetapi bermakna bahwa buku merupakan sebuah buah pikiran dalam bentuk cetak dan jika lupa diingat dapat membukanya kembali untuk dibaca dan dibaca lagi.


Tuesday, August 23, 2016

MEMBACA BERJAMAAH

Dede Dudu Abdul Rahman

"Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik." Buya Hamka.

Perut peserta didik diasupi makanan di rumah masing-masing, melaksanakan sholat dhuha untuk mengisi rohaninya, dan mengisi pikirannya dengan membaca. Ketiga kebutuhan peserta didik tersebut diintegrasikan dalam pembiasaan makan makanan bergizi, sholat dhuha, di lingkungan SDN. Perumnas Cisalak.

Salah satu program yang dilaksanakan SDN. Perumnas Cisalak yaitu West java Leader's Reading Challenge selama 10 bulan ke depan. Peserta didik yang termasuk tim inti, sekurang-kurangnya 2 tim yang berjumlah 10 peserta didik dengan satu pembimbing guru perintis. Selain itu, secara rutin mengadakan readathon yang dilaksanakan setiap Jum'at, sehari  dalam satu Minggu.

Pembiasaan readathon yang dilaksanakan di lapangan SDN. Perumnas Cisalak setelah sholat dhuha berjamaah. Seluruh siswa membaca senyap selama 15 menit sebagai tahap pembiasaan sebelum melaksanakan readathon dengan waktu 42 menit yang akan dimulai September 2016.

Dengan pembiasaan readathon selama 15 menit ini diharapkan peserta didik tidak terkejut ketika pelaksanaan readathon sesungguhnya dengan membaca senyap selama 42 menit. Berdasarkan sejarahnya, readathon berasal dari kata 'Marathon" yang berarti berlari sejauh 42 kilometer. Berdasarkan pengertian di atas diharapkan para peserta didik dapat membaca senyap dengan bermakna dan menjadikan aktivitas membaca sebagai habit di lingkungan SDN. Perumnas Cisalak.









Monday, August 22, 2016

PEMBIASAAN MEMBACA

Dede Dudu Abdul Rahman (Guru Perintis)

Buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. -- Barbara Tuchman, 1989.
Aktivitas membaca telah dilaksanakan di sekolah manapun, tetapi dengan pemahaman yang masih perlu ditingkatkan. Oleh sebab itu, kebijakan Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan Budi Pekerti perihal pembiasaan membaca buku 15 menit sebelum pembelajaran dimulai harus digelorakan agar menjadi budaya di lingkungan pendidikan.
Membaca dapat dilakukan dimana saja, taman sekolah, perpustakaan, depan kelas, dan sudut baca. Menciptakan lingkungan nyaman merupakan daya tarik bagi peserta didik untuk melakukan aktivitas membaca dengan tenang. Sekolah harus memfasilitasi dengan berbagai akses informasi yang lebih mudah dan dekat dengan peserta didik. Peran guru perintis sangat penting untuk mengimplementasikan program ini agar tidak berakhir pada wilayah wacana saja.
Diharapakan pembiasaan membaca buku selama 15 menit ini terbawa ke lingkungan rumah dan masyarakat peserta didik. Perlu pelibatan berbagai pihak untuk menjaga konsistensi peserta didik agar membaca dapat menjadi candu dalam kehidupan sehari-harinya.
Peserta didik harus dibiasakan berkunjung ke komunitas atau taman bacaan agar lebih mudah mendapatkan akses informasi dalam bentuk buku.

Guru-guru juga harus terbiasa membaca buku agar energinya terserap peserta didik sehingga lingkungan sekolah dapat menjadi lingkungan yang menumbuhkan peserta didik menjadi pembelajar sepanjang hayat.











PENANDATANGANAN KESEPAKATAN

Oleh Dede Dudu Abdul Rahman (Guru Perintis SDN. Perumnas Cisalak)
Hujan rintik-rintik membasahi langit Kota Tasikmalaya bagian utara. Sejak pagi hujan tidak berhenti, tetapi tidak menghalangi agenda pertemuan dengan para orangtua tim inti peserta WJLRC SDN. Perumnas Cisalak yang memiliki komunitas literasi dengan nama Sabak Perumnas Cisalak (Sekolah Bacaan Perumnas Cisalak). Acara dimulai pukul 10.00 sesuai jadwal pada surat yang diberikan dua hari sebelumnya.
Penandatanganan kesepakatan program West Java Leader's Reading Challenge bersama orang tua dan tim inti sejumlah 10 peserta didik dilaksanakan di ruang literasi, Senin (22/8).
Kesepakatan ini merupakan salah satu syarat dalam pelaksanaan program WJLRC yang akan berjalan selama 10 bulan. Hal ini dilakukan agar para orangtua menjaga komitmen dan konsistensi anak-anaknya dalam menyelesaikan tantangan membaca sebanyak 24 buku mulai dari September 2016 hingga Juni 2017.
Dalam acara penandatanganan ini kami melakukan penguatan dengan diskusi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan WJLRC. Termasuk teknik membaca, mereviu, dan diskusi (presentasi) kepada orangtua di depan peserta tim inti WJLRC.
Diskusi sangat interaktif, beberapa pertanyaan dari orang tua bermunculan, "Kami harus bagaimana untuk menjaga konsistensi anak untuk membaca?" tanya Mama Nasywaa. Kami menjawab dengan keterlibatan orangtua sangat penting, hal yang dapat dilakukan dengan mengingatkannya dan menjadi teladan bagi anak dalam membaca buku. Bisa saja dengan memberikan pertanyaan tentang buku yang dibaca anak-anak.
Sedang Mama Hasna mengatakan, "Anak-anak memiliki jadwal sekolah agama dan les privat. Bagaimana mengaturnya?".
Berdasarkan pengamatan kami, aktivitas peserta didik di luar sekolah sangat padat, seperti les privat dan sekolah agama. Setelah berdiskusi, pihak sekolah dengan para orangtua sepakat untuk mengadakan kerja sama dengan sekolah agama dan lembaga privat. Tujuannya untuk menyukseskan program yang harus dilewati peserta tim inti dengan kepala sekolah penggerak dan guru perintis selama 10 bulan ke depan.
Intinya, kami tidak menjadikan program ini sebagai beban. Sebab membaca harus menjadi kebutuhan seperti makan di lingkungan pendidikan agar melahirkan generasi yang mencintai ilmu pengetahuan sepanjang hayat mulai dari sekarang.