Seorang lelaki dengan berperawakan kurus-kerontang berlari-lari kecil. Masinis membunyikan klakson bernada keras yang mirip terompet sebagai tanda kereta mulai melaju. "Ah, sampai juga," ucap lelaki yang senang menggulung tubuhnya dengan kain putih itu. Sayang, sandal yang berbahan kulit tertinggal sepasang ketika menaiki kereta yang mulai bergerak cepat. "Wuuussshhh," sandal yang masih terpasang di kaki kirinya dilempar. Para penumpang lain merasa heran dengan sikapnya, "Kenapa Tuan membuang sandalnya?".
Seorang lelaki dengan berperawakan kurus-kerontang berlari-lari kecil. Masinis membunyikan klakson bernada keras yang mirip terompet sebagai tanda kereta mulai melaju. “Ah, sampai juga,” ucap lelaki yang senang menggulung tubuhnya dengan kain putih itu. Sayang, sandal yang berbahan kulit tertinggal sepasang ketika menaiki kereta yang mulai bergerak cepat. “Wuuussshhh,” sandal yang masih terpasang di kaki kirinya dilempar. Para penumpang lain merasa heran dengan sikapnya, “Kenapa Tuan membuang sandalnya?”
“Jika ada yang menemukannya sepasang, tentu tidak akan bermanfaat. Jika dua-duanya saya tinggalkan, penemu kedua pasang sandalku akan menggunakannya dan bermanfaat,” jelas Gandhi dengan senyum kecil khasnya.
Nursyda membaca dengan dalam, mengingat masa kecil yang bahagia karena dapat membaca kisah-kisah orang besar dari buku yang disediakan ayahnya, seorang wartawan lokal Lombok Utara. Sejak kecil, dia disuguhi kisah tokoh-tokoh dunia sejak dari rumah. Membaca seperti cairan yang sangat dibutuhkan tubuhnya setiap hari. Tanpa itu, dia merasa dahaga, seperti berlari sejauh puluhan kilometer yang mengeluarkan racun pada pori-pori tubuh, tetapi tidak diganti dengan air mineral.
Riak air mineral dalam botol yang digenggam adalah sebagian energi yang mengantarkan langkah kakinya menuju toko buku yang berjarak tujuh kilo meter. Tetapi energi yang lebih besar dari matahari adalah keyakinannya untuk sampai ke tumpukkan buku-buku yang isinya seluas semesta, malah lebih dari itu.
Kuliah di Jogjakarta, salah satu provinsi istimewa di Indonesia dengan samudera buku di setiap sudut kotanya membuat Nursyda Syam betah berlayar. Permasalahan ekonomi yang sserba terbatas bukan benteng berlin yang kokoh untuk diruntuhkan. Dia mampu menghancurkannya dengan kesabaran. Berjuang menjadi penjual koran, pengasuh, dan ngamen untuk bertahan menjadi mahasiswa di salah satu universitas Jogjakarta adalah pilihan yang masuk akal.
Sayang, uang yang terkumpul selalu tidak cukup untuk membeli buku. Tetapi dia tidak menjadi pecundang dengan membentangkan bendera putus asa. Justeru, tercetuslah ide untuk terus berkunjung ke toko buku, dia selalu datang untuk membaca buku yang belum dikhataminya. Berminggu-minggu pihak keamanan toko buku pun memantaunya, “Jika kamu hanya membaca buku saja, silakan keluar!” ancam petugas keamanan saat itu. Pilihan untuk berada di toko tersebut tinggal dua, “Beli atau keluar!”.
Meski tidak kuasa memandang wajah sang petugas karena tuntutan kewajibannya. Dia tidak ingin merasa terhina dan dipermalukan. Dia jaga perasaan demi petugas keamanan tersebut, sebab dia pun bekerja untuk keluarganya. Dia juga sadar bahwa posisinya dalam keadaan yang salah, hanya memanfaatkan ruang toko buku untuk membaca tanpa membelinya dengan kondisi keuangan yang serba dibutuhkan. Buku yang berjudul “Indonesia Tanpa Pagar” akhirnya diletakkan pada rak toko tersebut. Dia harus rela Indonesia masih dipagari bagi kebebasan kaum marjinal.
Ida panggilan akrabnya merasa gelap, dia seperti berjalan pada labirin, menunggu cahaya hingga dia tunggu tidak datang-datang. Dia sadar harus berjalan di atas mataharinya sendiri yaitu keyakinan dan perjuangan untuk membuat sebuah taman dengan bunga-bunga yang tumbuh berupa buku-buku.
Terkadang sebagai manusia biasa, Ida merasa iri dengan orang-orang yang memiliki ekonomi lebih. Andaikan posisinya dibalik, tentu Ida akan membeli semua buku yang diinginkannya dengan uang yang melimpah. Tetapi dia sadar bahwa dunia adalah sebuah tempat fatamorgana, bayang-bayang, dan sesuatu yang terlihat belum tentu berisi sama dengan rupanya.
Pilihan yang masuk akal adalah menjadi angin, memassuki celah-celah untuk diterobos, ditembus, berada pada dimensi nyata, dan tidak membebani hidup yang sedemikian terbatas. Modal kuat untuk mendirikan sebuah tempat yang dapat dimanfaatkan orang banyak, dia harus mengumpulkan buku-buku yang disumbangkan teman-temannya agar dibaca warga sekitar. Dia tidak ingin semua orang bernasib sama demi menghayati sebuah buku dengan sebuah usiran. "Mewakafkan hidup untuk menyadarkan masyarakat gemar membaca," sebuah niat tumbuh subur dari kebun dalam hatinya.
Berbagi menjadi pilihan terbaik hidupnya sebab jiwa-raga adalah sebuah rumah yang dapat dijadikan naungan untuk orang lain. Atau mungkin sebuah shelter, tempat berteduh sebelum benar-benar pergi ke tempat tujuan.
Suara Ida selalu bergetar setiap menutup diskusi-diskusi dengan siapa pun, pada sebuah gedung atau tempat yang bernama Gerung, beralaskan marmer atau tanah. “Tetaplah menjadi cahaya,” katanya dengan nada yang membuat orang-orang bergetar seperti gunung berapi ingin meledakkan magma dari kedalamannya.