Friday, October 7, 2016

SARTINI BUKAN KARTINI

Biji-biji kopi yang dikeringkan dengan mengandalkan sengatan matahari, berceceran dekat tampan-tampan yang mewadahinya di depan rumah. Ayam-ayam dengan naluri hewaninya menghampiri kopi-kopi yang disiangi, dibiarkan dan diberi kesempatan menikmatinya. Sartini dengan cekatan membawanya ke dapur untuk untuk segera mengolahnya dengan cara disangrai, dia memilih jalan tradisional membuat kopi bubuk yang kemudian ditumbuk sehingga memiliki aroma kopi khas Desa Sesela, Lombok Barat Nusa Tenggara Barat.

Tanah sepertiga lapang sepakbola merupakan laboratorium kehidupan baginya. Dua bangunan rumah berdiri, kegunaan rumah pertama sebagai tempat istirahat dan tempat olahan-olahan panganan khas bersama tetangga. Rumah kedua sengaja dibangun sebagai tempat buku-buku untuk anak, remaja, dan beberapa warga yang masih buta aksara.
Halaman yang dijadikan tempat bermain dengan permukaannya yang bertekstur padat, sangat disenangi anak-anak jika berkumpul setelah pulang sekolah atau sore hari menjelang magrib. Pohon jeruk, pepaya, dan singkong di belakang rumah dapat dinikmati tetangga dan warga yang membutuhkannya. Hanya satu syarat yang diberikan Sartini kepada warga untuk benar-benar digenggam. “Silahkan nikmati, tapi jangan dijual,” itu saja.
Perempuan paruh baya yang menginfakkan hidup untuk orang-orang lebih memilih Jalan berbagi dengan orang-orang terdekat hingga meluas ke luar desanya. Mulai dari ruang tamu hingga halaman luar rumah direlakan untuk berbagi ruang dengan siapa saja.
Dari pejabat hingga orang yang bernasib biasa-biasa tidak pernah disekat jarak ketika memasuki gerbang rumahnya. Sartini bukan seorang Kartini yang memiliki pengaruh besar dan memiliki hubungan dengan orang-orang di atas sana. Siapa pun yang menginjakkan kaki di atas tanahnya harus melucuti apa pun jabatannya. Baginya, semua orang sama yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi dengan warna darah dan tulang yang sama. Tentu saja tidak berati menganggap dirinya Tuhan.
Sumber tenaga yang dia miliki entah datang dari mana, satu-satunya yang menyala dari dalam dadanya adalah pendaran semangat. Riuh-rendah suara anak-anak mulai mengeras, dia menyeka keringat dari dahinya sebab ruang dapur yang lembab membuatnya bermandikan mata air tubuhnya sendiri.
Sartini tersenyum saja mendengar celoteh anak-anak yang bercanda sedemikian rupa, terkadang tiba-tiba ada yang menangis, terjatuh, dan berdarah. Tentu saja, nurani keibuannya muncul menyegerakan mereka ketimbang sangrai kopi yang membutuhkan waktu lama.
Pakaiannya terkadang lusuh, sebab seluruh kejadian bersama anak-anak menempeli tenunan pakaiannya yang hampir digunakan setiap hari. Angin yang ringan mengusap wajah anak-anak dan mengatup-ngatupkan mata. Bergerak pelan dan berakhir dengan bentangan layar mimpi dalam tidurnya di lantai depan rumah. Sebagian anak mengambil buku bacaan, berceloteh sambil ngemil kripik terbuat dari olahan jagung yang disediakan.
Tidak semua anak memiliki keluarga lengkap, ada yang dititipkan ke bibinya karena ibunya merantau ke negeri seberang untuk menjadi asisten rumah tangga. Jiwa-jiwa beberapa anak terlihat kosong. Sartini mengisinya agar mereka tetap menjaga magma harapan yang meletup-letup dengan berwarna emas.
Apa pun yang terjadi dengan anak-anak di atas tanah miliknya, dia berusaha menjadi malaikat bagi mereka. Tanpa sungkan-sungkan, jika tetesan darah terakhir dari tubuhnya terjatuh, dia akan menampaninya untuk diberikan kepada mereka yang berada di dekatnya.
Tentu saja darah yang dimiliki Sartini tidak berwarna merah dan bau amis, tetapi bening melebihi mata air di dekat pohon tua Desa Sesela. Ucapan yang disampaikan tentu bukan dari pikirannya yang disesaki pertimbangan. Dia seperti peri yang terjatuh dari langit. Bertugas dalam kehidupan anak-anak di sekitar rumahnya sebagai pemberi bintang ketika legam malam datang.
Anak-anak selalu mengadu kepadanya, masalah apa pun, meskipun yang disembunyikan dalam-dalam di semak-semak hatinya. Sartini adalah tanah yang ditumbuhi pepohonan dengan ranting-ranting kering yang hampir terjatuh. Dia juga adalah hujan yang menyerap ke dalam tanah, kemudian diseruput akar-akar hingga pepohonan yang seharusnya mati dapat hidup kembali dengan rimbun dan anggun demaunnya.

No comments:

Post a Comment