Saturday, February 4, 2017

Konser Baroedak Sabak di Launching WJLRC 2016

Friday, October 7, 2016

MATAHARI DARI UTARA

Seorang lelaki dengan berperawakan kurus-kerontang berlari-lari kecil. Masinis membunyikan klakson bernada keras yang mirip terompet sebagai tanda kereta mulai melaju. "Ah, sampai juga," ucap lelaki yang senang menggulung tubuhnya dengan kain putih itu. Sayang, sandal yang berbahan kulit tertinggal sepasang ketika menaiki kereta yang mulai bergerak cepat. "Wuuussshhh," sandal yang masih terpasang di kaki kirinya dilempar. Para penumpang lain merasa heran dengan sikapnya, "Kenapa Tuan membuang sandalnya?".

Seorang lelaki dengan berperawakan kurus-kerontang berlari-lari kecil. Masinis membunyikan klakson bernada keras yang mirip terompet sebagai tanda kereta mulai melaju. “Ah, sampai juga,” ucap lelaki yang senang menggulung tubuhnya dengan kain putih itu. Sayang, sandal yang berbahan kulit tertinggal sepasang ketika menaiki kereta yang mulai bergerak cepat. “Wuuussshhh,” sandal yang masih terpasang di kaki kirinya dilempar. Para penumpang lain merasa heran dengan sikapnya, “Kenapa Tuan membuang sandalnya?”
“Jika ada yang menemukannya sepasang, tentu tidak akan bermanfaat. Jika dua-duanya saya tinggalkan, penemu kedua pasang sandalku akan menggunakannya dan bermanfaat,” jelas Gandhi dengan senyum kecil khasnya.
Nursyda membaca dengan dalam, mengingat masa kecil yang bahagia karena dapat membaca kisah-kisah orang besar dari buku yang disediakan ayahnya, seorang wartawan lokal Lombok Utara. Sejak kecil, dia disuguhi kisah tokoh-tokoh dunia sejak dari rumah. Membaca seperti cairan yang sangat dibutuhkan tubuhnya setiap hari. Tanpa itu, dia merasa dahaga, seperti berlari sejauh puluhan kilometer yang mengeluarkan racun pada pori-pori tubuh, tetapi tidak diganti dengan air mineral.
Riak air mineral dalam botol yang digenggam adalah sebagian energi yang mengantarkan langkah kakinya menuju toko buku yang berjarak tujuh kilo meter. Tetapi energi yang lebih besar dari matahari adalah keyakinannya untuk sampai ke tumpukkan buku-buku yang isinya seluas semesta, malah lebih dari itu.
Kuliah di Jogjakarta, salah satu provinsi istimewa di Indonesia dengan samudera buku di setiap sudut kotanya membuat Nursyda Syam betah berlayar. Permasalahan ekonomi yang sserba terbatas bukan benteng berlin yang kokoh untuk diruntuhkan. Dia mampu menghancurkannya dengan kesabaran. Berjuang menjadi penjual koran, pengasuh, dan ngamen untuk bertahan menjadi mahasiswa di salah satu universitas Jogjakarta adalah pilihan yang masuk akal.
Sayang, uang yang terkumpul selalu tidak cukup untuk membeli buku. Tetapi dia tidak menjadi pecundang dengan membentangkan bendera putus asa. Justeru, tercetuslah ide untuk terus berkunjung ke toko buku, dia selalu datang untuk membaca buku yang belum dikhataminya. Berminggu-minggu pihak keamanan toko buku pun memantaunya, “Jika kamu hanya membaca buku saja, silakan keluar!” ancam petugas keamanan saat itu. Pilihan untuk berada di toko tersebut tinggal dua, “Beli atau keluar!”.
Meski tidak kuasa memandang wajah sang petugas karena tuntutan kewajibannya. Dia tidak ingin merasa terhina dan dipermalukan. Dia jaga perasaan demi petugas keamanan tersebut, sebab dia pun bekerja untuk keluarganya. Dia juga sadar bahwa posisinya dalam keadaan yang salah, hanya memanfaatkan ruang toko buku untuk membaca tanpa membelinya dengan kondisi keuangan yang serba dibutuhkan. Buku yang berjudul “Indonesia Tanpa Pagar” akhirnya diletakkan pada rak toko tersebut. Dia harus rela Indonesia masih dipagari bagi kebebasan kaum marjinal.
Ida panggilan akrabnya merasa gelap, dia seperti berjalan pada labirin, menunggu cahaya hingga dia tunggu tidak datang-datang. Dia sadar harus berjalan di atas mataharinya sendiri yaitu keyakinan dan perjuangan untuk membuat sebuah taman dengan bunga-bunga yang tumbuh berupa buku-buku.
Terkadang sebagai manusia biasa, Ida merasa iri dengan orang-orang yang memiliki ekonomi lebih. Andaikan posisinya dibalik, tentu Ida akan membeli semua buku yang diinginkannya dengan uang yang melimpah. Tetapi dia sadar bahwa dunia adalah sebuah tempat fatamorgana, bayang-bayang, dan sesuatu yang terlihat belum tentu berisi sama dengan rupanya.
Pilihan yang masuk akal adalah menjadi angin, memassuki celah-celah untuk diterobos, ditembus, berada pada dimensi nyata, dan tidak membebani hidup yang sedemikian terbatas. Modal kuat untuk mendirikan sebuah tempat yang dapat dimanfaatkan orang banyak, dia harus mengumpulkan buku-buku yang disumbangkan teman-temannya agar dibaca warga sekitar. Dia tidak ingin semua orang bernasib sama demi menghayati sebuah buku dengan sebuah usiran. "Mewakafkan hidup untuk menyadarkan masyarakat gemar membaca," sebuah niat tumbuh subur dari kebun dalam hatinya.
Berbagi menjadi pilihan terbaik hidupnya sebab jiwa-raga adalah sebuah rumah yang dapat dijadikan naungan untuk orang lain. Atau mungkin sebuah shelter, tempat berteduh sebelum benar-benar pergi ke tempat tujuan.
Suara Ida selalu bergetar setiap menutup diskusi-diskusi dengan siapa pun, pada sebuah gedung atau tempat yang bernama Gerung, beralaskan marmer atau tanah. “Tetaplah menjadi cahaya,” katanya dengan nada yang membuat orang-orang bergetar seperti gunung berapi ingin meledakkan magma dari kedalamannya.


SARTINI BUKAN KARTINI

Biji-biji kopi yang dikeringkan dengan mengandalkan sengatan matahari, berceceran dekat tampan-tampan yang mewadahinya di depan rumah. Ayam-ayam dengan naluri hewaninya menghampiri kopi-kopi yang disiangi, dibiarkan dan diberi kesempatan menikmatinya. Sartini dengan cekatan membawanya ke dapur untuk untuk segera mengolahnya dengan cara disangrai, dia memilih jalan tradisional membuat kopi bubuk yang kemudian ditumbuk sehingga memiliki aroma kopi khas Desa Sesela, Lombok Barat Nusa Tenggara Barat.

Tanah sepertiga lapang sepakbola merupakan laboratorium kehidupan baginya. Dua bangunan rumah berdiri, kegunaan rumah pertama sebagai tempat istirahat dan tempat olahan-olahan panganan khas bersama tetangga. Rumah kedua sengaja dibangun sebagai tempat buku-buku untuk anak, remaja, dan beberapa warga yang masih buta aksara.
Halaman yang dijadikan tempat bermain dengan permukaannya yang bertekstur padat, sangat disenangi anak-anak jika berkumpul setelah pulang sekolah atau sore hari menjelang magrib. Pohon jeruk, pepaya, dan singkong di belakang rumah dapat dinikmati tetangga dan warga yang membutuhkannya. Hanya satu syarat yang diberikan Sartini kepada warga untuk benar-benar digenggam. “Silahkan nikmati, tapi jangan dijual,” itu saja.
Perempuan paruh baya yang menginfakkan hidup untuk orang-orang lebih memilih Jalan berbagi dengan orang-orang terdekat hingga meluas ke luar desanya. Mulai dari ruang tamu hingga halaman luar rumah direlakan untuk berbagi ruang dengan siapa saja.
Dari pejabat hingga orang yang bernasib biasa-biasa tidak pernah disekat jarak ketika memasuki gerbang rumahnya. Sartini bukan seorang Kartini yang memiliki pengaruh besar dan memiliki hubungan dengan orang-orang di atas sana. Siapa pun yang menginjakkan kaki di atas tanahnya harus melucuti apa pun jabatannya. Baginya, semua orang sama yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi dengan warna darah dan tulang yang sama. Tentu saja tidak berati menganggap dirinya Tuhan.
Sumber tenaga yang dia miliki entah datang dari mana, satu-satunya yang menyala dari dalam dadanya adalah pendaran semangat. Riuh-rendah suara anak-anak mulai mengeras, dia menyeka keringat dari dahinya sebab ruang dapur yang lembab membuatnya bermandikan mata air tubuhnya sendiri.
Sartini tersenyum saja mendengar celoteh anak-anak yang bercanda sedemikian rupa, terkadang tiba-tiba ada yang menangis, terjatuh, dan berdarah. Tentu saja, nurani keibuannya muncul menyegerakan mereka ketimbang sangrai kopi yang membutuhkan waktu lama.
Pakaiannya terkadang lusuh, sebab seluruh kejadian bersama anak-anak menempeli tenunan pakaiannya yang hampir digunakan setiap hari. Angin yang ringan mengusap wajah anak-anak dan mengatup-ngatupkan mata. Bergerak pelan dan berakhir dengan bentangan layar mimpi dalam tidurnya di lantai depan rumah. Sebagian anak mengambil buku bacaan, berceloteh sambil ngemil kripik terbuat dari olahan jagung yang disediakan.
Tidak semua anak memiliki keluarga lengkap, ada yang dititipkan ke bibinya karena ibunya merantau ke negeri seberang untuk menjadi asisten rumah tangga. Jiwa-jiwa beberapa anak terlihat kosong. Sartini mengisinya agar mereka tetap menjaga magma harapan yang meletup-letup dengan berwarna emas.
Apa pun yang terjadi dengan anak-anak di atas tanah miliknya, dia berusaha menjadi malaikat bagi mereka. Tanpa sungkan-sungkan, jika tetesan darah terakhir dari tubuhnya terjatuh, dia akan menampaninya untuk diberikan kepada mereka yang berada di dekatnya.
Tentu saja darah yang dimiliki Sartini tidak berwarna merah dan bau amis, tetapi bening melebihi mata air di dekat pohon tua Desa Sesela. Ucapan yang disampaikan tentu bukan dari pikirannya yang disesaki pertimbangan. Dia seperti peri yang terjatuh dari langit. Bertugas dalam kehidupan anak-anak di sekitar rumahnya sebagai pemberi bintang ketika legam malam datang.
Anak-anak selalu mengadu kepadanya, masalah apa pun, meskipun yang disembunyikan dalam-dalam di semak-semak hatinya. Sartini adalah tanah yang ditumbuhi pepohonan dengan ranting-ranting kering yang hampir terjatuh. Dia juga adalah hujan yang menyerap ke dalam tanah, kemudian diseruput akar-akar hingga pepohonan yang seharusnya mati dapat hidup kembali dengan rimbun dan anggun demaunnya.

Tuesday, August 30, 2016

SELAMAT PAGI



Selamat Pagi
Musik/lirik: Vudu Abdul Rahman
Vocal: Sabak Kids

D A G Bm

Selamat pagi
Teman-temanku yang baik hati
Ayo, kita berbagi energi
Matahari yang menyinari hidup dan bumi

Mari kita bangkitkan semangat hari ini
Untuk menggali ilmu seluas samudera
Melayarinya dengan gembira

Mulailah membaca
Dengan menyebut nama
tuhan yang menciptakan s'luruh alam semesta
Tercinta....

Monday, August 29, 2016

SADAR LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI

Oleh Dede Dudu Abdul Rahman (Guru Perintis)

Literasi bukan sekedar kompetisi, lebih dari itu, agar seluruh lapisan masyarakat dapat melek wacana menuju persaingan global dengan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang telah berjalan beberapa tahun terakhir ini. 

Salah satu peningkatan kemampuan literasi peserta didik dapat ditingkatkan melalui tahap pemahaman dalam menggunakan komputer, internet, dan handphone. Hal ini penting untuk membekali mereka terkait dengan hard skill yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.  

Peningkatan kemampuan literasi teknologi informasi peserta didik dalam penggunaan komputer harus dibiasakan sejak dini mulai dari lingkungan rumah dan sekolah. Dalam program West Java Leader's Reading Challenge yang akan dilaksanakan SDN. Perumnas Cisalak mulai September 2016 - Juni 2017, penggunaan komputer dan internet yang disediakan sekolah harus dikuasai mereka. Tujuan penguasaan dalam penggunaan komputer dimaksudkan agar mereka terlibat secara aktif dalam pelaksanaan program WJLRC.

Penguasaan peserta didik terhadap penggunaan komputer dapat mempermudah pelaksanaan program sebagai wujud pelibatan mereka secara konkrit. Mereka tidak sekedar membaca buku bacaan, menulis reviu, dan presentasi saja. Tetapi dilibatkan dalam proses rekapitulasi secara mandiri ketika menulis reviu buku bacaan pada kertas tulis yang dialihkan ke microsoft word.

Dalam bulan pembiasaan (Agustus) ini, peserta didik diuji tingkat kemampuan penggunaan komputer sebagai langkah persiapan menuju program WJLRC yang akan segera dimulai pada awal September 2016.

Kemampuan peserta didik SDN. Perumnas Cisalak cukup baik dalam menuliskan hasil latihan reviu mereka pada microsoft word, Senin (29/8). Mereka cukup sadar literasi teknologi informasi dan komunikasi yang difasilitasi keluarga masing-masing dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Mudah-mudahan semangat literasi yang digelorakan di lingkungan pendidikan Provinsi Jawa Barat dapat merevoliterasi daya nalar warga sekolah. Pada akhirnya, medali bukan tujuan untuk memenangkan suatu perlombaan demi citra yang sesaat. Tujuan utama menggelorakan literasi di lingkungan sekolah dapat terwujud demi generasi yang melek wacana berbasis teknologi informasi dan komunikasi.












Sunday, August 28, 2016

GURU DILARANG MEROKOK


Oleh Anggita Damayanti, S. Pd. 
(Guru Kelas IV A SDN. Perumnas Cisalak)

Berita kenaikan harga rokok yang ramai ditayangkan di berbagai media elektronik, banyak menimbulkan pro dan kontra di lingkungan masyarakat. Perokok aktif maupun  pasif saling beradu pendapat di media sosial.
Sebagai perokok pasif, penulis sangat antusias menyambut wacana pemerintah untuk menaikkan harga rokok dengan harga yang cukup mahal. Diharapkan para perokok berat dapat berpikir dua kali membakar uangnya dengan merokok.
Setiap keputusan pasti akan disambut beragam pendapat. Tidak sedikit yang mengomentari kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga rokok. Salah satu komentar di media sosial mengatakan, “Meskipun harga rokok naik, tidak akan memberikan efek jera untuk para perokok”.
Seorang ibu rumah tangga malah sangat ketakutan, dari sisa uang membeli rokok suaminya berarti jatah dapur semakin sedikit. Dampak nikotin dalam sebatang rokok, menjadikan seorang perokok tetap tidak akan bergeming. Mungkin bagi perokok berduit tidak masalah, tapi bagi perokok yang penghasilan nya kurang dapat melecut tindakan kriminal demi sebatang rokok. Narkotika saja yang harganya ratusan ribu bahkan jutaan, bagi orang yang sudah kecanduan bisa menghalalkan segala cara untuk membelinya.
Apalagi seorang guru yang bebas merokok di lingkungan sekolah sangat kurang pantas jika dihisap dan dilihat peserta didik. Seorang guru ialah suri tauladan peserta didik, seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarso Sung Tulodo”. Atau pepatah lain mengatakan, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Oleh sebab itu, bagi para guru yang sering merokok di sekolah selaiknya merenungkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah. Pada pasal 5 dijelaskan bahwa kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di lingkungan Sekolah.
Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik apabila melakukan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kepala sekolah dapat memberikan sanksi kepada guru, tenaga kependidikan, dan Pihak lain yang terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah. Guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik dapat memberikan teguran atau melaporkan kepada kepala sekolah apabila terbukti ada yang merokok di Lingkungan Sekolah. Dinas pendidikan setempat sesuai dengan kewenangannya memberikan teguran atau sanksi kepada kepala sekolah apabila terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah berdasarkan laporan atau informasi dari guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan/atau Pihak lain.

Jika pemerintah daerah dan dinas pendidikan berkomitmen dengan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 dilaksanakan dapat menjadi efek jera bagi para guru yang sembarangan merokok di lingkungan sekolah. Barangkali yang harus dilakukan mereka adalah menghentikan sejenak aktivitas merokok di lingkungan sekolah. Jika memang belum ada niat untuk berhenti, maka mereka dapat menghisap rokok setelah pulang sekolah di tempat udara bebas yang jauh dari jangkauan peserta didik atau anak-anak.
Penulis berharap wacana pemerintah menaikkan harga rokok dapat membuat para perokok aktif berhenti sedikit demi sedikit agar menggunakan uangnya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Jika para perokok menghentikan aktivitas merokoknya, mungkin lingkungan peseta didik dan anak-anak dapat menghirup udara segar setiap hari.

Selain itu, jika harga rokok memang benar-benar naik, pemerintah harus mengontrol harga bahan pokok agar tidak terkena dampaknya. Jika harga rokok per bungkus mahal diikuti bahan-bahan pokok rumah tangga, maka hal tersebut percuma saja. Rakyat kecil akan semakin tercekik dengan keadaan yang tidak terkendali tersebut dari segala arah.


Thursday, August 25, 2016

POHON GEULIS ANTI KEKERASAN

Pohon yang lindap, rimbun, dan subur dapat menjadikan lingkungan sekitar teduh. Kemajuan bangsa Indonesia tergantung benih yang ditanam sekarang, jika serius dirawat kemungkinan besar generasi masa depannya tahan badai, kuat dan bernas.

"Pak, aku udah namatin tiga buku," kata Shopie dengan tersenyum bangga. "Kalau aku baru dua buku, Pak." Siva menimpali, tidak mau kalah dengan Sopie. Beberapa anak melaporkan bahwa mereka telah menamatkan buku-buku dalam bulan pembiasaan. Sejak anak-anak melaporkan buku yang dibacanya ditamatkan, barulah pohon geulis dibuat bersama anak-anak dengan mencari ide agar unik dan menarik.

Setelah berdiskusi dengan anak-anak, kami sepakat membuat pohon dengan daun-daunnya terbuat dari sketsa tangan-tangan mereka, Jum'at (26/8). Sesuai dengan warna dan pita biru pada logo Sabak Perumnas Cisalak yang berarti warna biru merupakan sebuah naungan dengan warna kedamaian yang diharapkan para peserta didik nyaman menggali dunia melalui buku bacaan. Sedang pita biru berarti pencegahan kekerasan pada anak (child abuse prevention). Sabak sebagai komunitas baca berupaya melindungi hak-hak anak dari segala macam bentuk kekerasan yang sering terjadi pada anak.

Peserta didik sangat antusias membuat sketsa tangan-tangannya yang kemudian dihias lalu diisi berbagai judul, penulis, dan sedikit ringkasan tentang bacaannya. Langkah ini sebagai upaya menggelorakan gerakan literasi sekolah melalui program West Java Leader's Reading Challenge yang dilaksanakan SDN. Perumnas Cisalak.









"P