Friday, October 7, 2016

MATAHARI DARI UTARA

Seorang lelaki dengan berperawakan kurus-kerontang berlari-lari kecil. Masinis membunyikan klakson bernada keras yang mirip terompet sebagai tanda kereta mulai melaju. "Ah, sampai juga," ucap lelaki yang senang menggulung tubuhnya dengan kain putih itu. Sayang, sandal yang berbahan kulit tertinggal sepasang ketika menaiki kereta yang mulai bergerak cepat. "Wuuussshhh," sandal yang masih terpasang di kaki kirinya dilempar. Para penumpang lain merasa heran dengan sikapnya, "Kenapa Tuan membuang sandalnya?".

Seorang lelaki dengan berperawakan kurus-kerontang berlari-lari kecil. Masinis membunyikan klakson bernada keras yang mirip terompet sebagai tanda kereta mulai melaju. “Ah, sampai juga,” ucap lelaki yang senang menggulung tubuhnya dengan kain putih itu. Sayang, sandal yang berbahan kulit tertinggal sepasang ketika menaiki kereta yang mulai bergerak cepat. “Wuuussshhh,” sandal yang masih terpasang di kaki kirinya dilempar. Para penumpang lain merasa heran dengan sikapnya, “Kenapa Tuan membuang sandalnya?”
“Jika ada yang menemukannya sepasang, tentu tidak akan bermanfaat. Jika dua-duanya saya tinggalkan, penemu kedua pasang sandalku akan menggunakannya dan bermanfaat,” jelas Gandhi dengan senyum kecil khasnya.
Nursyda membaca dengan dalam, mengingat masa kecil yang bahagia karena dapat membaca kisah-kisah orang besar dari buku yang disediakan ayahnya, seorang wartawan lokal Lombok Utara. Sejak kecil, dia disuguhi kisah tokoh-tokoh dunia sejak dari rumah. Membaca seperti cairan yang sangat dibutuhkan tubuhnya setiap hari. Tanpa itu, dia merasa dahaga, seperti berlari sejauh puluhan kilometer yang mengeluarkan racun pada pori-pori tubuh, tetapi tidak diganti dengan air mineral.
Riak air mineral dalam botol yang digenggam adalah sebagian energi yang mengantarkan langkah kakinya menuju toko buku yang berjarak tujuh kilo meter. Tetapi energi yang lebih besar dari matahari adalah keyakinannya untuk sampai ke tumpukkan buku-buku yang isinya seluas semesta, malah lebih dari itu.
Kuliah di Jogjakarta, salah satu provinsi istimewa di Indonesia dengan samudera buku di setiap sudut kotanya membuat Nursyda Syam betah berlayar. Permasalahan ekonomi yang sserba terbatas bukan benteng berlin yang kokoh untuk diruntuhkan. Dia mampu menghancurkannya dengan kesabaran. Berjuang menjadi penjual koran, pengasuh, dan ngamen untuk bertahan menjadi mahasiswa di salah satu universitas Jogjakarta adalah pilihan yang masuk akal.
Sayang, uang yang terkumpul selalu tidak cukup untuk membeli buku. Tetapi dia tidak menjadi pecundang dengan membentangkan bendera putus asa. Justeru, tercetuslah ide untuk terus berkunjung ke toko buku, dia selalu datang untuk membaca buku yang belum dikhataminya. Berminggu-minggu pihak keamanan toko buku pun memantaunya, “Jika kamu hanya membaca buku saja, silakan keluar!” ancam petugas keamanan saat itu. Pilihan untuk berada di toko tersebut tinggal dua, “Beli atau keluar!”.
Meski tidak kuasa memandang wajah sang petugas karena tuntutan kewajibannya. Dia tidak ingin merasa terhina dan dipermalukan. Dia jaga perasaan demi petugas keamanan tersebut, sebab dia pun bekerja untuk keluarganya. Dia juga sadar bahwa posisinya dalam keadaan yang salah, hanya memanfaatkan ruang toko buku untuk membaca tanpa membelinya dengan kondisi keuangan yang serba dibutuhkan. Buku yang berjudul “Indonesia Tanpa Pagar” akhirnya diletakkan pada rak toko tersebut. Dia harus rela Indonesia masih dipagari bagi kebebasan kaum marjinal.
Ida panggilan akrabnya merasa gelap, dia seperti berjalan pada labirin, menunggu cahaya hingga dia tunggu tidak datang-datang. Dia sadar harus berjalan di atas mataharinya sendiri yaitu keyakinan dan perjuangan untuk membuat sebuah taman dengan bunga-bunga yang tumbuh berupa buku-buku.
Terkadang sebagai manusia biasa, Ida merasa iri dengan orang-orang yang memiliki ekonomi lebih. Andaikan posisinya dibalik, tentu Ida akan membeli semua buku yang diinginkannya dengan uang yang melimpah. Tetapi dia sadar bahwa dunia adalah sebuah tempat fatamorgana, bayang-bayang, dan sesuatu yang terlihat belum tentu berisi sama dengan rupanya.
Pilihan yang masuk akal adalah menjadi angin, memassuki celah-celah untuk diterobos, ditembus, berada pada dimensi nyata, dan tidak membebani hidup yang sedemikian terbatas. Modal kuat untuk mendirikan sebuah tempat yang dapat dimanfaatkan orang banyak, dia harus mengumpulkan buku-buku yang disumbangkan teman-temannya agar dibaca warga sekitar. Dia tidak ingin semua orang bernasib sama demi menghayati sebuah buku dengan sebuah usiran. "Mewakafkan hidup untuk menyadarkan masyarakat gemar membaca," sebuah niat tumbuh subur dari kebun dalam hatinya.
Berbagi menjadi pilihan terbaik hidupnya sebab jiwa-raga adalah sebuah rumah yang dapat dijadikan naungan untuk orang lain. Atau mungkin sebuah shelter, tempat berteduh sebelum benar-benar pergi ke tempat tujuan.
Suara Ida selalu bergetar setiap menutup diskusi-diskusi dengan siapa pun, pada sebuah gedung atau tempat yang bernama Gerung, beralaskan marmer atau tanah. “Tetaplah menjadi cahaya,” katanya dengan nada yang membuat orang-orang bergetar seperti gunung berapi ingin meledakkan magma dari kedalamannya.


SARTINI BUKAN KARTINI

Biji-biji kopi yang dikeringkan dengan mengandalkan sengatan matahari, berceceran dekat tampan-tampan yang mewadahinya di depan rumah. Ayam-ayam dengan naluri hewaninya menghampiri kopi-kopi yang disiangi, dibiarkan dan diberi kesempatan menikmatinya. Sartini dengan cekatan membawanya ke dapur untuk untuk segera mengolahnya dengan cara disangrai, dia memilih jalan tradisional membuat kopi bubuk yang kemudian ditumbuk sehingga memiliki aroma kopi khas Desa Sesela, Lombok Barat Nusa Tenggara Barat.

Tanah sepertiga lapang sepakbola merupakan laboratorium kehidupan baginya. Dua bangunan rumah berdiri, kegunaan rumah pertama sebagai tempat istirahat dan tempat olahan-olahan panganan khas bersama tetangga. Rumah kedua sengaja dibangun sebagai tempat buku-buku untuk anak, remaja, dan beberapa warga yang masih buta aksara.
Halaman yang dijadikan tempat bermain dengan permukaannya yang bertekstur padat, sangat disenangi anak-anak jika berkumpul setelah pulang sekolah atau sore hari menjelang magrib. Pohon jeruk, pepaya, dan singkong di belakang rumah dapat dinikmati tetangga dan warga yang membutuhkannya. Hanya satu syarat yang diberikan Sartini kepada warga untuk benar-benar digenggam. “Silahkan nikmati, tapi jangan dijual,” itu saja.
Perempuan paruh baya yang menginfakkan hidup untuk orang-orang lebih memilih Jalan berbagi dengan orang-orang terdekat hingga meluas ke luar desanya. Mulai dari ruang tamu hingga halaman luar rumah direlakan untuk berbagi ruang dengan siapa saja.
Dari pejabat hingga orang yang bernasib biasa-biasa tidak pernah disekat jarak ketika memasuki gerbang rumahnya. Sartini bukan seorang Kartini yang memiliki pengaruh besar dan memiliki hubungan dengan orang-orang di atas sana. Siapa pun yang menginjakkan kaki di atas tanahnya harus melucuti apa pun jabatannya. Baginya, semua orang sama yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi dengan warna darah dan tulang yang sama. Tentu saja tidak berati menganggap dirinya Tuhan.
Sumber tenaga yang dia miliki entah datang dari mana, satu-satunya yang menyala dari dalam dadanya adalah pendaran semangat. Riuh-rendah suara anak-anak mulai mengeras, dia menyeka keringat dari dahinya sebab ruang dapur yang lembab membuatnya bermandikan mata air tubuhnya sendiri.
Sartini tersenyum saja mendengar celoteh anak-anak yang bercanda sedemikian rupa, terkadang tiba-tiba ada yang menangis, terjatuh, dan berdarah. Tentu saja, nurani keibuannya muncul menyegerakan mereka ketimbang sangrai kopi yang membutuhkan waktu lama.
Pakaiannya terkadang lusuh, sebab seluruh kejadian bersama anak-anak menempeli tenunan pakaiannya yang hampir digunakan setiap hari. Angin yang ringan mengusap wajah anak-anak dan mengatup-ngatupkan mata. Bergerak pelan dan berakhir dengan bentangan layar mimpi dalam tidurnya di lantai depan rumah. Sebagian anak mengambil buku bacaan, berceloteh sambil ngemil kripik terbuat dari olahan jagung yang disediakan.
Tidak semua anak memiliki keluarga lengkap, ada yang dititipkan ke bibinya karena ibunya merantau ke negeri seberang untuk menjadi asisten rumah tangga. Jiwa-jiwa beberapa anak terlihat kosong. Sartini mengisinya agar mereka tetap menjaga magma harapan yang meletup-letup dengan berwarna emas.
Apa pun yang terjadi dengan anak-anak di atas tanah miliknya, dia berusaha menjadi malaikat bagi mereka. Tanpa sungkan-sungkan, jika tetesan darah terakhir dari tubuhnya terjatuh, dia akan menampaninya untuk diberikan kepada mereka yang berada di dekatnya.
Tentu saja darah yang dimiliki Sartini tidak berwarna merah dan bau amis, tetapi bening melebihi mata air di dekat pohon tua Desa Sesela. Ucapan yang disampaikan tentu bukan dari pikirannya yang disesaki pertimbangan. Dia seperti peri yang terjatuh dari langit. Bertugas dalam kehidupan anak-anak di sekitar rumahnya sebagai pemberi bintang ketika legam malam datang.
Anak-anak selalu mengadu kepadanya, masalah apa pun, meskipun yang disembunyikan dalam-dalam di semak-semak hatinya. Sartini adalah tanah yang ditumbuhi pepohonan dengan ranting-ranting kering yang hampir terjatuh. Dia juga adalah hujan yang menyerap ke dalam tanah, kemudian diseruput akar-akar hingga pepohonan yang seharusnya mati dapat hidup kembali dengan rimbun dan anggun demaunnya.